Kamis, 30 Juni 2011 | 10:52 WIB                  
Jumlah warga di Lebak Selatan yang menjadi buruh tambang batu bara jumlah pastinya belum terdata. Namun diperkirakan ada ratusan warga yang menjadi buruh tambang batu bara ini.
Pekerjaan mereka memang sangat berisiko. Karena mereka mencari batu bara di kedalaman tanah hingga ratusan meter. Dengan peralatan yang seadanya, mereka bekerja di bawah ancaman kematian. Saat ini saja sudah banyak buruh yang tewas di lokasi penambangan karena minimnya jaminan keselamatan yang mereka dapatkan. Namun mereka tidak menyerah. Mereka masih mencari batu bara untuk menghidupi keluarga.
Salah satu penambang batu bara, Herman (46), saat ditemui Radar Banten di lokasi pertambangan di Kampung Batukarut, Desa Panyaungan, Kecamatan Cihara, Selasa (27/6), mengatakan, menjadi buruh tambang bukan keinginan dan cita-citanya. Tetapi karena kebutuhan ekonomi yang mendesak hingga dirinya dan teman-temannya harus berani menembus kedalaman tanah hingga ratusan meter. Tekad untuk memenuhi kebutuhan keluarga itulah yang membuat Herman berani melubangi lapisan tanah dengan hanya beralatkan palu dan pahat untuk memecah batu yang keras di dalam tanah.
“Saya rela bekerja seperti ini demi membiayai dua anak yang sedang sekolah, agar kelak tidak bernasib seperti saya,” ujar Herman hingga meneteskan air mata.
Pekerjaan yang menguras energi dan melelahkan fisik ini sudah ditekuni Herman sejak 11 tahun lalu. Kesulitan mencari pekerjaan yang layak menjadikan Herman menjatuhkan pilihan pada pekerjaan menjadi buruh tambang batu bara. Di dalam lubang tanah yang gelap gulita itu, kata Herman, para buruh hanya diterangi penerang seadanya, beberapa potongan lilin atau lampu pijar kecil yang sengaja dipasang dari generator yang berkapasitas kecil.
Pekerjaan yang sangat berisiko ini tidak diimbangi dengan upah yang layak dari para pengusaha tambang batu bara. Sebab pengusaha hanya membayar para buruh tambang batu bara dari jumlah batu bara yang mereka kumpulkan. Rata-rata per hari mereka bisa mengumpulkan satu hingga dua ton dengan satu lubang dikerjakan lima orang. Setiap satu ton batu bara kualitas jelek dihargai Rp 100 ribu, dan Rp 150 ribu untuk kualitas baik oleh pengusaha. “Jika batu bara tidak kami temukan berarti kami belum dapat upah, padahal kebutuhan keluarga lebih besar dari itu,” pungkas Herman.
Senada dikatakan penambang lainnya, Dedi (30). Kata dia, proses penambangan batu bara secara tradisional sangat berisiko karena nyawa menjadi taruhan. Kata Dedi, para buruh ini harus menentukan lapisan tanah yang berpotensi mengandung batu bara. Lalu menggalinya hingga kedalaman tertentu sampai bertemu dengan lapisan batu bara yang dicari. Kemudian batu bara yang berada di dalam tanah yang sudah dipecahkan dengan palu dan pahat itu, diangkat ke permukaan tanah yang ditampung ember berukuran kecil, kemudian diangkat perlahan dengan pengerek sederhana.
“Kondisi di dalam lubang galian sangat sesak dan sempit karena diameter yang dilubangi kadang hanya seukuran tubuh saja. Kami harus bermandi lumpur yang hitam bercampur zat yang terkandung dalam batu bara. Napas menjadi sesak karena uap panas dari perut bumi yang menyesakkan dada,” ujar Dedi.
Ada di antara para buruh yang pernah terjebak di dalam lubang karena tanahnya longsor, namun masih bisa selamat. Tapi ada juga ada yang naas tidak terselamatkan. Kondisi longsor sering terjadi pada musim penghujan. Kalau sedang longsor, tentu saja para penambang yang berada di dalam akan terjebak. Dengan minimnya keselamatan kerja dan upah yang kecil mereka berharap ada perbaikan dan ingin hidup layak.
Sekadar diketahui, buruh pertambangan batu bara ini terdiri dari dua jenis. Pertama adalah buruh penggali lubang batu bara yang bekerja kepada pengusaha. Yang kedua buruh jasa pengangkut yang memuat ke dalam truk-truk berukuran besar (istilah mereka, pekerja loding) yang akan dikirim ke industri-industri di kota.
Upah buruh jasa yang memuat batu bara Rp 100 ribu hingga Rp120 ribu per truk yang dikerjakan oleh 10 hingga 15 orang. Sampai truk itu penuh terisi batu bara dengan berat 8 hingga 20 ton harus memakan waktu empat sampai lima jam. Rata-rata upah yang mereka terima per hari Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu. Upah mereka jauh dari upah minimum kabupaten Lebak sebesar Rp 1.050.000 per bulan.
Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Lebak, potensi sumber daya batu bara di Kabupaten Lebak sebanyak 13,3 juta ton. Potensi batu bara banyak tersebar di Lebak Selatan seperti di Kecamatan Bayah, Kecamatan Panggarangan, Kecamatan Cihara, Kecamatan Cibeber, dan Kecamatan Cilograng. (*)
#Agus Aan Hermawan
Dewan Pembina KB IMC Bidang Komunikasi, Sosial Politik.


 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar